Ada sebuah lagu dengan judul ini. Lalu ada yang tanya ke saya, apa nada dasar lagu ini. Saya sadar sekali bahwa saya orang yang suka menyumbangkan lagu; membuat lagu menjadi sumbang. Jadi jelas saya adalah orang yang tidak tahu banyak soal not, jadi saya bengong dan tidak bisa menjawab.
Ternyata teman saya itu bilang, nada dasarnya A. Padahal kan itu cukup tinggi untuk nada dasar sebuah lagu, saya jadi protes, kok bisa? Ya dong, awalnya A terus dia nyanyi are you really happy. Kalau direndahkan jadi nada dasar D jadinya kan D you really happy. Plesetan banget.
Tapi saya tidak sekedar mau cerita plesetan lagu itu saja. Saya juga mau cerita tentang salah satu tayangan produksi Jepang. Judul tayangan itu sama, Masquerade. Karena kata itu bermakna penyembunyian, artifisial, trik dan yang sejenisnya.
Sekedar mengingatkan Anda bahwa di tayangan produksi Jepang tersebut, seseorang atau beberapa orang akan menggunakan penyamaran dengan berbagai kostum untuk mempertontonkan ombak, ikan, bunga atau apapun yang membuat mata kita mengira tidak sedang melihat orang-orang yang menyamar tadi.
Lalu?
Memang begitulah hidup. Begitulah bisnis. Sesuatu tidak akan dilihat seperti yang sebenarnya. Menyaksikan tayangan itu, kita tidak sedang melihat orang-orang yang menggunakan kostum. Beberapa penampil di acara itu, membuat kita seolah-olah sedang menyaksikan ombak yang bekejar-kejaran menuju pantai. Atau sedang melihat ikan-ikan yang berenang di laut. Atau juga sedang melihat bunga sakura yang sedang mulai mekar dan merekah.
Persepsi ya?
Tepat sekali. Semua yang ada di dunia ini tidak lain dari persepsi. Anda bisa saja menyatakan sesuatu berharga murah tetapi saya tidak setuju, karena ukuran murah kita bisa berbeda. Bisa saja Anda menyatakan murah karena barang tersebut bisa dipergunakan dalam jangka waktu yang sangat panjang, dan karena itu harganya dibagi dalam bulan pemakaian akan menghasilkan nilai Rp.10.000,- per bulan. Tetapi karena saya berhitung dari proporsi harga barang itu terhadap penghasilan saya, maka saya dapat saja menyatakan harganya mahal. Itu kita sebut persepsi.
Sebuah telpon genggam dengan feature yang sangat lengkap termasuk kamera, radio, MP3 player, Wi-Fi, akan dianggap bermanfaat walaupun secara fisik cukup besar. Namun bagi orang yang hanya menggunakan telpon genggam untuk menelpon serta kirim-terima SMS, maka barang tersebut menjadi tidak bermanfaat.
Begitulah persepsi. Bagi orang yang menyukai rasa masakan, maka waktu yang lama dalam penyiapan tidak terasa sama sekali. Tetapi bagi orang yang makan karena lapar, atau karena butuh makan, maka dia tidak akan mampu menunggu terlalu lama. Maka apakah citarasa menjadi penting? Itulah persepsi.
Sesuatu sangat bergantung pada cara pandang orang. Maka kita perlu menyikapi apa yang ingin ditampilkan kepada konsumen.
Tetapi tidak dapatkah persepsi konsumen kita yang diubah?
Sangat mungkin dan bisa. Tarif SMS per karakter satu rupiah? Murah banget ya? Benar sekali, karena teknologi yang dimiliki Esia, katanya, dapat menghitung jumlah karakter yang dikirimkan oleh pelanggan. Karena itu tarif menjadi lebih murah.
Tetapi bila Anda sering mengirimkan SMS sebanyak 160 karakter per kirim, maka Esia akan mengenakan tarif sebanyak Rp.160,- dan itu lebih mahal dibandingkan dengan tarif dari sebagian besar operator seluler (CDMA/GSM) di Indonesia.
Tapi itu kan kalau kita mengirim sebanyak 160 karakter?
Benar, tetapi akan ada pertanyaan lain. Anda memang sudah pernah membuktikan beberapa kali dan benar bahwa pulsa Anda berkurang sejumlah karakter SMS yang dikirimkan. Tetapi apakah setiap kali mengirim Anda melakukan penghitungan?
Jadi Esia bohong?
Tidak! Tetapi ini permainan persepsi. Berapa sering sebenarnya Anda mengirim SMS dengan jumlah karakter kurang dari 100? Karena bila Anda mengirim SMS sering lebih dari 100 maka tarifnya akan lebih tinggi dari operator lain, bukan?
Ini persepsi. Dan Esia telah berhasil dengan persepsi.
Seberapa sering pula Anda memperhatikan harga pakaian ketika diskon? Tidak, kasus bahwa harga barang dinaikkan dulu baru didiskon sehingga harga akhir tidak berbeda jauh dengan harga sebelum diskon, sudah kita abaikan dulu. Karena beberapa kali terbukti bahwa harga diskon memang sangat murah.
Dalam kasus diskon ini coba kita anggap bahwa harga tidak diubah, lalu kemudian didiskon. Berarti sebuah pakaian yang tadinya dijual dengan harga dua ratus ribu rupiah tetap dihargai begitu kemudian didiskon hingga 70% menjadi Rp.60.000,-. Anda percaya bahwa tidak ada orang yang membeli pakaian itu ketika masih berharga Rp.200.000,-?
Ketika didiskon hingga dapat dibeli di harga enampuluh ribu rupiah, apakah Anda percaya bahwa toko menjual di bawah ongkos produksi+distribusi? Atau saya balik pertanyaannya, apakah Anda percaya bahwa di harga tersebut toko masih mendapat laba? Rasanya memang demikian, maka cost of goods sold pakaian tersebut di bawah Rp.60.000,- ya?
Kalau benar demikian maka kualitas pakaian tersebut secara real adalah Rp.60.000,-. Pakaian itu memang terlihat bagus, dari bahan yang berkualitas, dengan desain yang menarik dan dijahit dengan rapi pula. Belum lagi pilihan warnanya sangat menarik. Kemudian ketika dicoba, maka jatuhnya pas bagi badan kebanyakan orang. Kemudian, berapa harga yang pantas? Dua ratus ribu ataukah enam puluh ribu rupiah? Itulah persepsi.
Lalu?
Silakan Anda komentari karena kita akan lanjutkan diskusi, nanti.
Medan – Agustus 2008
1 comment:
nice
Post a Comment