Aduh, sering kali ya kita dengar kata ini dari para polisi maupun penegak hukum, waalupun dengan nada yang tinggi dan kalau ditulis harus pakai tanda seru. Tapi kita kan sedang diskusikan masalah bisnis dan motivasi ya? Jadi ada urusan apa dengan penegakkan hukum?
Bukan soal penegakan hukum sebenarnya. Kita tetap diskusi soal motivasi, kan?
Nah, kita merasa termotivasi. Kemudian muncullah performansi yang sangat baik. Lalu kemudian ada peningkatan yang jelas pasti terukur. Baik dalam hal kualitas hasil, kecepatan dalam penyelesaian, kepuasan pengguna hasil produk kita dan jelas bermuara pada pendapatan yang akan diraih. Semua meningkat.
Tetapi suatu saat terjadi perubahan. Teknologi, kebutuhan, sumber daya, infrastruktur dan yang paling parah adalah perubahan pada sekedar gaya hidup.
Kenapa paling parah? Karena dulu menonton di bioskop adalah gaya hidup yang sangat keren. Dengar saja... malam minggu, aye pergi ke bioskop, beduaan ame pacar nonton koboi ... kayak tuan dan nyonye di gedongan ... Maaf, kalau lirik yang saya sebutkan salah. Tetapi itulah gaya hidup. Karena ketika itu, nonton di bioskop adalah gayanya para tuan dan nyonya di rumah-rumah mewah.
Tetapi apa yang terjadi sekarang, ada begitu banyak pemutar keping CD yang dijual bahkan dengan harga yang lebih rendah dari UMP sebulan di Provinsi manapun di Indonesia. Sehingga tidak aneh bila di Yogya tidak dapat ditemukan sebuahpun bioskop yang cukup bagus, paling tidak sampai tahun 2004.
Pada tahun 1970-an awal, memiliki televisi adalah kemewahan tersendiri. Kemudian gaya hidup berubah sehingga banyak yang memiliki televisi bahkan yang berwarna dan segala fiturnya. Sekarang, di banyak rumah, ada televisi di setiap ruangan dan itu mengubah gaya hidup sehingga semakin sedikit waktu bercengkrama para anggota keluarga.
Lalu apa hubungannya dengan bisnis atau motivasi?
Kita sedang diskusi tentang bisnis. Pendapatan perusahaan yang dapat berubah karena gaya hidup. Gaya hidup yang berubah karena perusahaan.
Kok aneh?
Begini, dulu ketika orangtua kita yang sudah sepuh tinggal hanya berdua atau bahkan sendiri, maka anak-anak akan membayar seseorang untuk menjadi asisten. Mengawal ke sana-sini termasuk untuk mengabari anak-anak, yang semuanya sudah punya rumah tangga masing-masing, bila orangtua itu sakit atau butuh sesuatu.
Kemudian orang-orang Finlandia membuat sebuah perangkat yang sangat ringan, sangat mudah dipergunakan, sehingga benda itu cukup digantungkan di leher. Anak-anak cukup mengajarkan si orangtua memijit beberapa tombol dan salah satu anak yang tinggal sekota tetapi tidak serumah akan segera datang untuk memenuhi permintaan si orangtua.
Padahal, dulu sekali, sekitar tahun 1995 perangkat itu sangat berat dan pasti tidak dapat digantungkan di leher yang tua dan berkeriput. Sehingga bila si orangtua butuh sesuatu dari anaknya, maka dia harus pulang ke rumah dan mengangkat handset yang ketika itu dilayani oleh satu perusahaan saja.
Sekarang, dengan perangkat yang dibuat segitu ringan maka ada banyak perusahaan yang melayani jasa telekomunikasi. Benar bahwa penduduk Indonesia bertumbuh hampir dua kali lipatnya sekarang. Tetapi jumlah perusahaan telekomunikasi tumbuh lebih dari lima kali lipat.
Dan itu pasti terjadi penurunan pendapatan di perusahaan tertentu. Atau bila tidak terjadi penurunan, maka peningkatan yang terjadi tidak lagi seperti dulu atau tidak lagi seperti yang diharapkan.
Jadi, saat pendapatan menurun atau peningkatan tidak sepesat periode sebelumnya, maka kita harus mengaku kalah? Kita kan belum kalah?
Ingat bahwa di beberapa diskusi sebelumnya, yang bisa dibaca di buku Telur Columbus, sudah dibahas tentang bisnis adalah seperti balap formula satu, bukan seperti tinju. Sehingga kekalahan sudah terjadi saat kita tidak melaju secepat sebelumnya. Kekalahan tidak harus berarti kita terpukul jatuh dan tidak dapat berdiri hingga hitungan ke sepuluh. Karena bisnis sebaiknya dijalankan seperti balap formula satu, bukan seperti tinju.
Maka tidak perlu menunggu sampai Pengadilan Niaga menyatakan bahwa perusahaan kita bangkrut baru mau menyatakan bahwa langkah yang kita ambil saat ini membawa kita kepada kekalahan.
Tapi tunggu dulu, bukankah langkah yang diambil sekarang adalah langkah yang selama bertahun-tahun telah sukses meningkatkan pendapatan?
Aduh, gimana ya? Kan kita tadi sudah diskusikan bahwa perubahan gaya hidup akan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi produk atau layanan. Maka, tidak aneh bila tingkat konsumsi masyarakat atas produk atau jasa yang disediakan oleh perusahaan Anda jadi menurun.
Pernah dengar kan bahwa menyadari bahwa tubuh mulai terjangkit penyakit sudah merupakan 50% pengobatan?
Nah, begitu pula di perusahaan. Mengakui bahwa apa yang dilakukan adalah kesalahan adalah 50% dari langkah kebangkitan kembali. Reborn!
Tapi kan kami sudah melakukan langkah-langkah yang baru bahkan di luar kebiasaan selama bertahun-tahun ini?
Bagaimana perubahannya pada pendapatan? Tetap menurun? Atau tetap tidak meningkat? Itu berarti tindakan itu tidak efektif.
Mana mungkin salah?
Pernah dengar bahwa radang usus, maag dan usus buntu yang sudah tidak lagi bisa berfungsi adalah penyakit yang berbeda? Padahal rasa sakitnya sama. Dan karena itu dokter akan menempuh dua cara yang berbeda untuk rasa sakit perut. Ada yang mencoba untuk memberi obat maag dulu. Tetapi yang paling sering, dokter memeriksakan terlebih dulu dengan sekian banyak peralatan scanner.
Nah, untuk kondisi perusahaan juga Anda dapat melakukan salah satu dari dua cara tadi. Mencoba satu cara, kemudian mengakui kalau itu salah dan mencoba hal lain yang berbeda. Bisa pula Anda memeriksa secara lebih rinci apa penyebab penurunan pendapatan perusahaan, kemudian menetapkan dan melaksanakan tindakan perbaikan.
Tapi kan survey masyarakat tidak bisa dikatakan akurat 100%?
Benar juga ya? Jadi mau tidak mau, memang cara yang lebih pas ya trial and error.
Tapi, yang paling penting, mengakui dulu bahwa tindakan yang selama ini memang salah?
Ya, mau apa lagi?
www.bukakacamatakuda.blogspot.com
No comments:
Post a Comment