Tuesday, January 8, 2013

Jurnalisme Naratif

Ada banyak sekali istilah untuk tipe jurnalisme yang satu ini. Jurnalisme yang terjadi sejak real time journalism mulai marak. Betul sekali real time journalism, apalagi ditambah dengan citizen journalism menjadi tantangan baru bagi pewarta media cetak.

Mengapa bisa demikian? Karena real time journalism seperti yang kita kenal salah satunya; detik, membuat semua orang bisa mengetahui suatu kejadian, tepat saat kejadian tersebut baru saja terjadi.

Media sosial seperti twitter dan facebook juga menjadi pendorong untuk terciptanya jurnalisme naratif. Ya, setiap orang dengan serta merta memberitakan satu kejadian, yang terkait dengan dirinya atau terjadi di hadapannya dalam bentuk update status.

Maka jurnalisme media cetak akan menjadi basi bagi para pembaca. Butuh waktu untuk cetak yang jelas memakan waktu lebih dari 1 jam sendiri. Belum lagi waktu untuk mendistribusikan media cetak kepada pembaca.

Tantangannya muncul pada diferensiasi berita di media cetak dengan berita di real time journalism. Bila isinya sama, maka tidak akan ada lagi yang mengkonsumsi media berita cetak.

Solusi pertama dari media berita cetak adalah "kupas tuntas". Semua data, semua informasi, semua nara sumber yang mungkin "digali" akan ditampilkan di media berita cetak. Tapi sekali lagi, data juga bisa muncul di media internet.

Narasumber? Seringkali, setiap ada satu berita yang muncul di real time journalism, seseorang akan memberi komentar. Atau bisa saja dia share berita itu di status facebook atau twitternya. Itu membuat semua orang yang mengikuti update-an tersebut akan menjadi lebih tahu tentang peristiwa terkait.

Sehingga media berita cetak akan semakin tertinggal. Konfirmasi, validasi? Sudah tidak perlu lagi bila narasumber aslinya yang mengupdate di status fb atau twitternya. Apalagi akun itu memang sudah verified dan sudah lama ada.

Maka mari kita tanyakan seperti ini? Bisakah kita tahu ekspresi orang yang memberikan data statistik ketika diminta? Bagaimana suasananya? Kapan waktunya; malam hari, siang hari?

Real time journalism sering tidak mengungkap itu. Karena itu menghabiskan waktu untuk menuliskannya, sehingga akan terkalahkan oleh real time journalism pesaing. Itu yang menyebabkan real time journalism tidak berani terlalu naratif.

Tetapi, sebuah berita yang naratif bukankah akan terlihat seperti fiksi?

Aduh, itu ide dari mana ya? Sepertinya tidak begitu. Naratif karena dalam berita disebutkan apakah sang narasumber mengemudikan mobilnya sendiri. Disebutkan bagaimana sang narasumber agak kerepotan ketika menghindar dari serbuan wartawan, bagaimana caranya melepaskan diri dari kerumunan.

Bisa pula mendeskripsikan pakaian yang dikenakan narasumber. Toh tidak setiap berita di real time journalism melampirkan foto yang up-to-date. Naratif juga mengungkapkan gestur dari narasumber.

Belum lagi tekstur kertas dari data yang diserahkan narasumber. Foto belum tentu bisa mengungkapkan tekstur yang diketahui dari rabaan jari. Foto yang tidak terlalu bagus, menyebabkan data tertentu terlihat kabur dan mengaburkan makna data.

Banyak sekali hal-hal yang tidak diungkap dalam real time journalism yang bisa muncul di jurnalisme naratif. Tetapi apakah itu fiktif? Itu benar-benar nyata. Benar-benar ada. Benar-benar terjadi.

Maka, itu jawaban atas tantangan terhadap dunia digital. Bukan fiksi.

No comments: