Monday, November 19, 2007

Mau Jadi Elang?

Pernah baca Jonathan Livingstone sang Camar (Jonathan Livingstone Seagull) karya Richard Bech? Sebuah novel motivasi yang tidak terlalu tebal. Saya tidak tahu apakah Anda bosan atau malah suka membacanya. Jonathan Livingstone adalah seekor camar yang ingin terbang setinggi elang. Dia berlatih untuk terbang lebih tinggi. Itu berarti dia harus mengepakkan sayap lebih sering dan lebih kuat. Tentu saja karena sayapnya yang pendek (bentang sayap elang bisa sampai tiga meter kiri kanan). Sayapnya juga tipis, serta bulunya tidak banyak.

Karena usahanya tersebut dia menjadi sangat kurus dengan terus berlatih. Waktunya untuk makan jadi berkurang karena terfokus untuk bisa terbang lebih tinggi. Ada kisah bahwa Jonathan jatuh karena pingsan.

Oh ya?

Ya, semakin tinggi maka oksigen semakin tipis. Masih ingat bentuk tubuh elang yang besar dan berdada tebal? Ya, paru-paru elang lebih besar dari camar, karena itu kapasitas udara yang dapat dihirup elang jelas lebih banyak dari yang dapat dihirup oleh camar. Itu berarti Jonathan harus bernafas lebih cepat dan lebih sering agar kapasitas paru-parunya yang memang sudah maksimal itu bisa menyamai kerja paru-paru elang.

Ketika dia melatih untuk bernafas lebih cepat dan lebih sering agar performansi paru-parunya bisa mendekati performansi paru-paru elang, maka kepak sayap Jonathan menjadi terganggu, dan itu berarti dia tidak dapat menyamai ketinggian terbang elang. Sehingga dia harus melatih kordinasi dua hal sekaligus: kepak sayap dan gerak paru-paru. Dan itu berarti dia harus berlatih lebih keras. Dengan demikian itu juga akan semakin berkurang waktu yang dia miliki untuk mencari dan menikmati makanan.

Sementara untuk dua kemampuan yang dia latih itu, Jonathan jelas membutuhkan energi dan itu didapat dari makanan. Sedangkan waktu luang yang dia miliki tidak mencukupi untuk makan cukup banyak.

Tentu saja, bukankah seekor camar harus terbang di atas laut dengan kesiagaan penuh melihat ke air karena sewaktu-waktu ada ikan yang berenang dekat ke permukaan laut. Ketika itu camar akan menerbang cepat dan menukik untuk mengambil makanan. Jonathan butuh waktu terbangnya juga untuk mengambil makanan dan sedikit waktu lagi untuk makan dan sedikit waktu lain untuk membiarkan sistem metabolismenya mengolah makanan tersebut.

Waktu tersebut tidak lagi digunakan secara maksimal oleh Jonathan, dan itu berarti dia kehilangan waktu berburu makanan, waktu menghabiskan makanan dan waktu untuk membiarkan sistem metabolismenya mengolah makanan. Itulah yang kemudian membuat badan Jonathan menjadi kurus. Sehingga kerja keras yang tidak didukung dengan asupan makanan yang cukup membuat tubuh Jonathan sangat lemah dan dia pingsan.

Beruntung bagi Jonathan karena dia hanya pingsan ketika itu. Beruntung pula karena masih ada pihak lain yang bersedia mencarikan makanan untuk Jonathan, sehingga dia bisa kembali pulih. Setelah tenaganya kembali pulih, Jonathan langsung berlatih kembali untuk terbang tinggi dan cepat seperti elang.

Karena itu tidak sedikit yang mengingatkan Jonathan untuk tidak terlalu terobsesi dengan keinginannya terbang setinggi elang. Bahkan Ibunya sendiri tidak terlalu senang dengan tindakan Jonathan Livingstone. Tetapi dia tetap bertahan dengan tujuannya untuk terbang setinggi dan secepat elang.

Apakah Jonathan dapat bertahan walaupun pernah pingsan, kehabisan tenaga?

Berhasilkah Jonathan? Tidak mudah untuk dicerna, terutama bagi saya, mungkin tidak bagi Anda. Di bagian terakhir buku tersebut diceritakan bagaimana Jonathan terbang sangat tinggi dan sangat cepat. Persis seperti kecepatan dan ketinggian terbang elang, yang diketahui Jonathan.

Hanya saja diceritakan bahwa ada begitu banyak burung terbang di bawah Jonathan, burung-burung dengan bulu yang berwarna-warni aneka ragam. Lebih indah dari yang diingat Jonathan selama ini.

Apakah itu? Di manakah Jonathan?

Wah, jangan-jangan Jonathan sudah masuk surga, ya? Tapi tidak ada yang bisa masuk surga sebelum mati kan? Sepertinya buku itu dibuat untuk dua sisi. Jadi mari kita teruskan saja diskusi ini.

Apakah salah bila kita tetap fokus pada tujuan kita? Tidak mungkin bisa salah. Karena lawan kata fokus, berarti mudah berpindah-pindah tujuan. Mari berandai-andai. Anda sudah menyiapkan kendaraan untuk sebuah perjalanan jauh, bensin sudah terisi penuh, kita juga sudah menyiapkan bekal untuk di perjalanan. Andai sekarang Anda di Semarang, dan berangkat menuju Surabaya. Baru tiba di Kudus, Anda tiba-tiba mengubah tujuan ke Yogyakarta, maka Anda harus membelokkan kendaraan menuju selatan.

Saat Anda sudah tiba di dekat Solo, Anda memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Maka Anda harus membelok ke barat. Sayangnya untuk itu Anda perlu meneruskan perjalanan hingga ke Yogyakarta dan berjalan di sepanjang pantai selatan. Ketika sampai di Purworejo, Anda putuskan untuk ke Surabaya.

Apa yang terjadi? Bensin Anda habis, mungkin bahkan bekal Anda pun habis, begitu pula dengan tenaga dan waktu Anda yang terpakai. Anda hanya berkeliling seputar Jawa Tengah dan tidak tiba di manapun, kecuali di tempat Anda benar-benar kehabisan bensin.

Tetapi bukankah fokus juga tidak membuat Jonathan dapat terbang secepat dan setinggi elang dalam kehidupannya? Tidak juga, buku itu tidak berakhir dengan cerita yang gamblang tentang kematian Jonathan.

Kacau juga ya, kalau tidak ada yang begitu jelas seperti ini?

Jalan hidup, juga tidak begitu jelas, tidak seperti jalan raya. Jalan raya walau bercabang sangat banyak sehingga tidak ada yang benar-benar mampu menghitung jumlahnya. Tetapi sebanyak apapun cabang jalan raya kita selalu bisa mendapatkan petunjuk arah tertentu bila kita memilih cabang jalan tertentu.

Ya, kita bisa melihat peta bila ingin menuju tempat tertentu. Atau kita bisa bertanya di jalan untuk hal tersebut. sejauh kita mau melihat peta atau bertanya kepada orang-orang di jalan, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tersasar.

Bila itu tidak mungkin, maka Anda dapat pula bertanya kepada orang yang kita kenal, pernah pergi ke tempat tersebut, dan bersedia membantu kita. Maka tibalah Anda ke tempat yang dituju, bila kita mengikuti arah yang dia beritahu.

Tetapi kehidupan? Tidak dapat demikian. Siapa orang sukses yang Anda kenal? Siapa orang bahagia yang Anda kenal?

Silakan Anda ambil satu contoh saja. Bila perlu cari tokoh sukses yang memulai langkah-langkah suksesnya di umur Anda sekarang. Lakukan persis seperti yang dia lakukan saat itu. Lakukan dengan tepat setiap langkah.

Beranikah Anda menjamin akan mencapai hal yang dia dapatkan saat ini? Beranikah dia menjamin hal tersebut? Tidak peduli seberapa lama Anda mencapainya, tetapi adakah yang berani menjamin Anda akan mendapatkan hal tersebut, setelah mengikuti semua langkah yang dia lakukan. Satu-per satu. Secara persis, tanpa ada yang menyimpang. Dapatkah Anda mencapai tujuan yang sama?

Nah, Anda sekarang mulai melihat masalahnya. Anda mungkin tidak akan mencapai yang dia capai. Paling tidak, siapa yang mau menjamin? Mengapa bisa demikian?

Jawabannya sederhana. Anda tidak memiliki latar belakang yang sama dengannya. Berasal dari keluarga yang berbeda. Besar di lingkungan yang berbeda. Sekolah di tempat yang berbeda. Bergaul dengan orang yang berbeda. Dan itu membuat semua yang akan Anda alami dan dapatkan berbeda dengan yang dia alami dan dapatkan.

Bila demikian, sia-sia saja mengikuti langkah siapapun yang sudah sukses? Asyik, itu pertanyaan yang saya tunggu-tunggu.

Saya percaya tentang satu hal: tidak ada yang sia-sia dalam kehidupan. Kehidupan Anda, kehidupan orang lain, kehidupan saya. Kehidupan memberi banyak pelajaran bagi yang menjalankannya. Pelajarannya tersedia, Anda dan saya hanya perlu memanfaatkan pelajaran tersebut.

Kehidupan akan menunjukkan langsung kepada kita apakah kita memang dapat menjadi elang. Persis seperti Jonathan Livingstone. Dalam proses untuk terbang lebih cepat dan lebih tinggi, dia harus mengepakkan sayap lebih cepat dan lebih kuat. Untuk hal tersebut dia butuh tenaga lebih banyak.

Maka dari kejadian tersebut, ada pelajaran bagi Jonathan, dia harus mengumpulkan tenaga lebih banyak, dan itu akan didapat lewat makanan. Sayangnya pelajaran tersebut tidak diolah Jonathan menjadi tindakan.

Tetapi, bukankah ada pelajaran lain yang didapat Jonathan dari usahanya tadi? Apakah tidak mungkin Jonathan berfikir bahwa karena tenaganya kurang, dia harus terus berlatih?

Benar sekali. Itulah masalah dengan pelajaran dari kehidupan. Ada sangat banyak perspektif. Ada sangat banyak sudut pandang. Bukan hanya dua seperti sebuah koin. Bukan hanya enam seperti sebuah dadu.

Sangat banyak sudut pandang. Sangat banyak pelajaran. Tetapi sekaligus juga sangat banyak pilihan yang harus diambil. Beberapa di antara pilihan tersebut justru akan membawa Anda ke tujuan yang berlawanan arah dengan niat kita semula.

Apakah itu berarti kita tidak dapat menjadi elang? Tidak juga. Sama seperti tadi saya mengatakan tidak ada yang sia-sia dengan apapun yang kita alami dari kehidupan kita. Demikian juga dengan pertanyaan Anda sekarang, Anda mungkin saja dapat menjadi elang.

Hal terpenting yang harus Anda waspadai adalah, setiap pelajaran yang muncul dalam tahap tindakan Anda. Setiap aksi dari Anda akan menimbulkan reaksi, menimbulkan hasil. Hasil tersebutlah yang harus Anda waspadai. Pelajaran apa yang ingin disampaikan oleh reaksi tersebut? Atau bila menggunakan contoh Jonathan, pelajaran apa yang ingin disampaikan oleh tubuhnya ketika dia jatuh terhempas ke laut karena pingsan?

Baiklah, setelah sekian banyak pelajaran yang berbeda-beda kita dapatkan dari suatu kejadian, apakah kemudian kita tetap harus menjadi elang?

Nah saya juga ingin bertanya begitu kepada Anda?

Jadi mari kita teruskan diskusi ke bagian berikut saja. Setuju?

1 comment:

bayhaqi said...

Ada buku 'the dip', by seth godin
http://sethgodin.typepad.com/the_dip/

dikatakan orang harus tahu, kapan harus berhenti dan kapan harus terus maju. mungkin mirip juga dengan cerita camar mau jadi elang ini.

salam dari brunei ya, aad.