Wednesday, November 14, 2007

Outsource Abuse

(sudah dimuat di kabarindonesia.com)

Mohon maaf karena judul tulisan ini dalam bahasa asing. Keterbatasan saya dalam bahasa tidak menemukan padanan untuk kata outsource, sehingga agar tidak berkesan aneh saya memilih penggunaan kata abuse untuk padanan penyalah-gunaan.

Dari semua buku yang Anda temukan sekitar sepuluh tahun yang lalu, sangat besar kemungkinan ditemukan bahwa outsource adalah sebuah cara untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan pengelolaan perusahaan. Karena mereka dikontrak untuk masa kerja berbatas waktu. Dengan pertimbangan ketika masa kerja mereka yang memang terbatas tersebut berakhir, maka mereka tidak lagi bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan.

Mengapa bisa menjadi hemat? Tentu saja, karena tidak ada fasilitas apapun yang diberikan kepada pekerja outsource selain sejumlah uang yang telah disepakati. Nilai uang tersebut justru sudah diperhitungkan langsung dengan hasil kerja sang pekerja outsource. Sehingga menjadi mudah perhitungan pembayaran upah mereka. Ketika mereka menjadi pekerja outsource hanya diikat dengan kontrak kerja.

Pertimbangan untuk melakukan outsource adalah atas pekerjaan-pekerjaan yang bukan merupakan tanggung jawab inti dari perusahaan. Sehingga pekerja outsource tersebut tidak dapat mengganggu secara langsung layanan yang disediakan oleh perusahaan kepada konsumen dan berarti tingkat kepuasan konsumen dapat dipelihara maupun ditingkatkan.

Bagaimana nasib para pekerja outsource setelah batas waktu berakhir? Lho, dalam fikiran para pengusung konsep tersebut, setiap pekerja outsource akan menggunakan peluang dan uang yang mereka miliki untuk mendapatkan tambahan pengetahuan. Dengan melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, atau pelatihan yang meningkatkan kompetensi mereka.

Dengan demikian, pengalaman sebagai pekerja outsource dan tambahan pengetahuan atau kompetensi yang mereka miliki dapat meningkatkan daya saing mereka saat akan melamar pekerjaan sebagai pegawai, baik di tempat dia dipekerjakan maupun di tempat lain.

Nah, di sinilah muncul penyalahgunaan baik di sisi perusahaan maupun di sisi pekerja outsource. Ada beberapa penyalahgunaan di sisi perusahaan. Pertama, tidak ada pembedaan yang jelas antara pekerjaan inti (core job / core competence) dengan yang bukan. Beberapa perusahaan memilih untuk menerima dan mempekerjakan orang hanya dengan ikatan kontrak berbatas waktu, tanpa peduli apakah pekerjaan tersebut adalah pekerjaan inti dari perusahaan yang bersangkutan.

Ke dua, beberapa perusahaan memperpanjang kontrak kerja tersebut secara terus menerus tanpa mengangkat pekerja menjadi pegawai tetap. Walaupun regulasi menetapkan bahwa kontrak hanya dapat diperpanjang sebanyak dua kali saja, tetap saja perpanjangan kontrak dilakukan lebih dari yang diatur. Orang-orang serakah yang mengendalikan perusahaan memilih untuk terus memperpanjang kontrak karena bisa menghalangi pengeluaran uang yang seharusnya dikeluarkan untuk fasilitas kesehatan dan banyak lagi lainnya.

Lho kok di bilang serakah? Tentu saja, prinsip yang diajarkan oleh para pakar ekonomi di masa-masa awal adalah efisien dan efektif demi sustainable outstanding finacial performance. Tetapi ketika penghambatan pengeluaran uang dilakukan dengan resiko pemogokan itu jelas bukan efektif dan efisien.

Jadi apa? Itu kebodohan dan keserakahan. Kebodohan karena tidak memperhitungkan biaya yang timbul akibat perusahaan yang berhenti karena pemogokan. Coba hitung berapa banyak pendapatan yang tidak jadi diperoleh karena perusahaan berhenti beroperasi sementara? Apakah itu efisiensi? Jelas tidak. Keserakahan karena ingin mendapatkan uang yang banyak dengan segera, tanpa perhitungan bahwa aksi demo yang dilakukan para pekerja dapat mengakibatkan beberapa aktiva perusahaan menjadi rusak dan tidak dapat dipergunakan lagi.

Tidakkah itu kebodohan dan keserakahan?

Coba pertimbangkan pendapatan yang tinggi di masa awal dengan pengurangan karena pendapatan yang berhenti masuk untuk sementara karena pemogokan dan kerugian atas aktiva yang dirusak pada saat aksi demo pekerja. Silakan bandingkan pendapatan yang tidak terlalu besar tetapi terus masuk tanpa disela dengan pemogokan dan perusakan aktiva. Yang mana yang lebih baik?

Penyalahgunaan ke tiga disebabkan oleh kemalasan para petinggi perusahaan. Mereka malas untuk merekrut banyak orang dan mengatur jadwal giliran (shift). Mari kita berhitung sedikit. Andai sebuah pabrik harus dijalankan oleh 200 orang dan dapat dioperasikan dalam 24 jam. Bila 24 jam tersebut dibagi dalam 3 jadwal untuk masing-masing 8 jam maka harus direkrut 600 pekerja. Sehingga bila ditetapkan menjadi 4 jadwal untuk masing-masing 6 jam, berarti dibutuhkan rekrut 800 orang.

Berdasarkan perhitungan biaya upah, tetap saja yang dikeluarkan hanya 200 x 24 jam x tarif per jam. Tidak banyak yang berbeda baik merekrut 400, 600 maupun 800 pekerja. Tetapi kebodohan para petinggi perusahaan menyebabkan para pekerja kehabisan tenaga, kehabisan waktu bahkan kehabisan semangat untuk menambah pengetahuan maupun kompetensi. Akibat lanjutannya adalah para pekerja tidak pernah mendapatkan tambahan pengetahuan bahkan kompetensi untuk bersaing dalam kompetisi tenaga kerja tetap di perusahaan, baik di perusahaan tersebut maupun di perusahaan lain.

Penyalahgunaan juga dilakukan oleh para pekerja outsource atau kontrak. Konsep kontrak kerja dan outsource justru memudahkan para pekerja. Ketika perusahaan mencari pegawai dengan gaji tetap bulanan, bonus di waktu-waktu tertentu, fasilitas lain yang terkait akan menyebabkan perusahaan menetapkan kriteria yang cukup tinggi atas kualitas calon pegawai.

Akibat penurunan pada beban biaya yang akan dikeluarkan, maka perusahaan akan menetapkan kriteria kualitas yang lebih rendah bagi calon pekerja. Itu berarti semakin mudah bagi sebagian besar orang untuk mendapatkan pekerjaan sekaligus memperoleh penghasilan. Ada beberapa perusahaan menetapkan jadwal yang cukup pendek sehingga ada banyak waktu yang dapat dimanfaatkan para pekerja untuk menambah pengetahuan maupun kompetensi.

Tetapi, lagi-lagi keserakahan. Tidak hanya mewabah pada para petinggi perusahaan tetapi juga menular pada para pekerja kelas bawah. Demi penghasilan yang lebih tinggi dalam waktu singkat, mereka memilih untuk bekerja di lebih dari 1 giliran. Jelas saja, ketika upah didasarkan pada jam kerja, maka bila mereka bekerja 12 jam akan mendapatkan penghasilan lebih besar daripada mereka bekerja hanya 6 jam.

Penyalahgunaan ini memang membuat mereka mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Tetapi sebagai akibatnya mereka akan kelelahan setelah selesai bekerja. Sehingga tidak ada lagi cukup tenaga, waktu dan semangat untuk meningkatkan pengetahuan maupun kompetensi.

Ketika usia mereka mulai beranjak naik, pengetahuan mereka tetap, kompetensi mereka justru berkurang karena faktor uzur. Daya saing mereka pun menurun karena tingginya umur. Bagaimana mereka mampu mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai tetap? Padahal bila mereka menjadi pegawai tetap, mereka tidak hanya menerima upah, tetapi termasuk bonus dan fasilitas.

Jadi sampai kapan penyalahgunaan di kedua pihak ini akan terus berlanjut?

Medan – Nopember 2007

No comments: