Seorang teman menyukai capung. Eits, bukan mengkoleksi capung dari berbagai jenis atau spesies. Tapi filosofi capung, coba lihat ini.
Capung punya labirin di alat penglihatannya, sehingga tidak perlu menoleh untuk meliihat ke segala arah. Dengan demikian, kita memiliki multi perspective untuk sesuatu hal, dan melihat banyak.
Ini terkait dengan filosofi panca indra manusia. Mata, telinga, hidung, mulut dan kulit. Ada 4 indra yang bertugas mendapatkan input dan 1 saja yang bertugas mengeluarkan output. Pernah tanya kenapa?
Karena Sang Pencipta ingin kita menangkap dan menganalisa terlebih dulu. Berempati. Menghargai keberagaman. Menghargai hal-hal berbeda. Tetapi juga kita disediakan mulut untuk menyampaikan apa yang diketahui. Tetapi tidak untuk memaksakan keinginan dan pendapat.
Nah, teman saya itu menyatakan bahwa filosofi alat penglihatan yang memiliki labirin, membuatnya tetap ingat agar tetap peka terhadap situasi dan lingkungan.
Lalu, capung memiliki kemampuan bermanuver (benar begitu ejaannya kan?) dengan lincah dalam kecepatan tinggi. Hal ini, oleh teman saya itu, dijadikan ingatan agar dirinya tetap diingatkan untuk bisa respon cepat.
Respon yang cepat demi kebaikan. Bukankah manuver cepat itu demi tidak menabrak dan merusak benda-benda di sekitarnya? Agar alam tidak terganggu. Agar ekosistem tidak perlu rusak.
Eits, jangan melihat dan menyalahkan ke sana kemari dulu ya. Kita sedang sama-sama melihat diri kita sendiri, kan? Benarkah respon cepat yang kita lakukan demi terciptanya keseimbangan dalam kehidupan. Keseimbangan hal-hal yang baik.
Salah ya?
Sebenarnya memang tidak perlu juga saya sebutkan keseimbangan hal-hal baik dalam dunia ini, atau dalam kehidupan. Karena dunia ini toh diciptakan dengan niat baik. Maka sebenarnya tidak ada hal-hal buruk yang asli milik dunia.
Rasanya kalau didaftar satu persatu, setiap hal buruk justru karena keserakahan, karena perbuatan manusia. Jadi ketika kita bicara tentang keseimbangan hidup di dunia, pastilah tentang hal-hal baik, ya?
Okay, balik ke capung. Maka labirin di alat penglihatan dan manuver lincah dalam kecepatan tinggi, demi lingkungan. Lalu ada lagi kah filsafah capung yang teman saya itu ingat dan ingat-ingatkan untuk dirinya sendiri?
Capung punya empat sayap dan tetap memiliki batas ketinggian terbang. Padahal kalau menggunakan ilmu matematika, bila satu hewan bisa terbang tinggi dengan 2 sayap, maka 4 sayap akan membuatnya terbang lebih tinggi lagi.
Tapi itu tidak terjadi pada capung. Capung gak ngerti matematik ya? Tapi itu cukup mengingatkan teman saya itu pada kefanaan dirinya sendiri. Bahwa apapun yang dia miliki, tetap saja sebagai makhluk Sang Pencipta, dia memiliki keterbatasan.
Kemampuan yang banyak, digunakan untuk hidupnya dan kehidupan dunia. Bukan untuk serakah dan menginginkan semua hal yang bahkan tidak dia butuhkan. Jadi?
Saya juga tidak sedang menyatakan bahwa betapa hebatnya filosofi hidup teman saya itu. Tapi rasanya, filosofi itu bisa jadi alternatif pilihan untuk jadi jalan hidup, ya?
Semoga
No comments:
Post a Comment