Anda mungkin sudah baca buku “Telur Columbus”. Di dalam ada diskusi tentang “Balap Formula Satu”. Di diskusi itu ada pembahasan tentang bisnis yang saling mengalahkan. Bahwa kompetitor harus ada yang kalah sebelum bisnis Anda menjadi pemenang. Jadi mari kita sebut sebagai bisnis substitusi. Setiap bisnis lain harus mati, harus disubstitusi karena sebuah bisnis ingin tetap hidup.
Ternyata, maaf bila ini tidak menyenangkan Anda, bahwa sebenarnya hidup juga bisa substitusi. Kenalkah Anda dengan seseorang yang berangkat kerja ketika anak-anaknya masih tidur dan pulang ke rumah dari kantor saat anak-anaknya sudah tidur? Itu bisa saja hanya terjadi Senin hingga Jumat, namun beberapa orang mengalaminya juga setiap hari dua hari Sabtu dalam sebulan.
Tidakkah itu berarti dia sedang mensubstitusi kehidupan anak-anaknya dengan kehidupan kantornya. Benar sekali bahwa dia berjuang di kantor demi kenaikan penghasilan akibat kenaikan pangkat di kantor, demi anak-anaknya.
Tapi saya teringat sebuah cerita. Seorang anak yang sedih melihat ayahnya kelelahan karena pulang dari kantor tetapi harus melakukan beberapa pekerjaan lain di rumah. Dia menyapa Ayahnya dengan segelas besar air putih untuk mengobati kelelahan. Sangat sederhana pikiran si balita itu.
Apa yang kemudian terjadi? Ayah merasa terganggu dan tanpa sadar dia menyebutkan betapa sibuk dirinya dan untuk satu jam kesibukannya, perusahaan membayar lebih dari lima ratus ribu rupiah. Si balita dengan tenang meminum habis air dalam gelas itu dan kembali ke kamarnya untuk tidur.
Sebulan kemudian, dia datang ketika sang Ayah juga sedang sibuk di rumah. Dia datang sambil pelan-pelan menyodorkan sebuah amplop. Dia terus berdiri diam di sebelah Ayah.
Sang Ayah membuka amplop dan melihat di dalamnya ada sepuluh lembar uang seratus ribuan. Sejuta rupiah! Dari mana dia mendapatkan uang?
“Saya menjual limun setiap sabtu dan minggu sore di lapangan sepakbola dekat rumah kita, Yah.”
Sang Ayah menatap bingung.
“Ya, sebagian uang saku saya dari Ibu juga saya simpan.”
“Lalu untuk apa uang sejuta rupiah ini?”
“Saya mau Ayah menemani saya tidur sambil membacakan dongeng.” Dia sodorkan dua buah buku dongeng ke meja kerja sang Ayah.
“Mungkin saya tidur setelah setengah jam. Jadi uang itu cukup untuk membayar waktu Ayah menemani saya tidur selama 4 hari.”
Sang Ayah menatap takjub. Tidak bisa berkata-kata.
“Tidak apa Yah. Nanti aku kumpulkan uang lagi supaya Ayah bisa temani aku tidur seminggu penuh”
Tidak ada lagi kata-kata yang dapat dikeluarkan sang Ayah selain air mata yang mengalir betapa dia sudah mensubstitusi kehidupan anaknya yang masih balita dengan sesuatu yang belum tentu diperjuangkan untuk sang Anak.
Nah, sekarang Anda mungkin akan protes. Tentu saja itu untuk sang Anak. Bukankah anak itu butuh biaya untuk makanan yang dapat menumbuhkan tubuhnya dan jiwanya. Dia juga butuh pendidikan yang baik untuk pengetahuannya dalam menjalankan hidup. Dia juga membutuhkan hal-hal lain seperti mainan untuk menjaga keseimbangan jiwanya. Benar sekali!!
Tetapi seberapa butuh? Benarkah itu semua harus dia substitusi dengan kehilangan ayahnya. Hidup sang Ayah mungkin dengan rela dia substitusikan, tetapi apakah orang yang disayangi oleh sang Ayah memang juga rela mensubstitusikan hidupnya? Dia bahkan mensubstitusikan uang sakunya, rasa malunya (anak dari Ayah yang bergaji lebih dari 50jt per bulan berjualan limun di lapangan sepakbola) demi waktu bersama sang Ayah. Dia mensubstitusi yang besar atau yang baik untuk yang terbesar atau yang terbaik.
Katakanlah Anda mengenal orang-orang seperti itu, sehingga kita bisa sepakati bahwa dia juga menukarkan yang baik dengan yang terbaik. Pertanyaan bagi mereka justru adalah, seberapa lama lagi pertukaran tersebut selesai? Apakah dia sudah menumpuk tabungan dan kemudian memiliki asset yang menghasilkan pendapatan? Sehingga dalam waktu dekat dia tidak lagi bekerja dengan penghasilan didapat dari assetnya.
Syukurlah bila memang demikian adanya. Karena dalam waktu dekat, saat asset mereka memang sudah cukup banyak dan per bulan sudah dapat menghasilkan sebesar gajinya dari kantor, maka mereka akan lebih lama menemani anak-anak mereka. Maka tidak ada alasan lagi untuk pergi ke kantor dan bisa 100% waktu mereka untuk anak-anak.
Nah, sekarang Anda mulai mengingat-ingat kawan-kawan Anda ya? Apakah mereka melakukan hal itu karena ego mereka sendiri, karena keinginannya untuk lebih baik di karir. Kalau memang mereka demikian, berarti mereka mensubstitusi keluarga untuk karir demi ego mereka.
Waduh, bahaya juga ya. Padahal tadinya mereka bekerja untuk membahagiakan keluarga. Kemudian mereka bekerja dan mendapatkan karir yang baik dan sekarang mensubstitusi keluarga untuk karir dan ego mereka. Sangat luar biasa pertukaran yang terjadi.
Nah, sekarang bersediakah mereka atau Anda berfikir ulang tentang prioritas dan substitusi yang dilakukan?
No comments:
Post a Comment