Steven Spielberg bilang bahwa dia hidup dari mimpi-mimpinya. Dengan santai pasti orang akan bilang, ya tentu saja. Dia membuat film. Sebagian besar filmnya adalah fiksi. Dan sebagian orang menganggap, fiksi adalah mimpi. Maka, Spielberg memang membuat mimpi, menjual mimpi dan hidup dari mimpi.
Kalau itu yang ada di pikiranmu saat ini, maka: IDL. Itu derita lu, karena...
... jelas-jelas Spielberg tidak semiskin itu kosa kata yang ada dalam kepalanya. Dan deritamu juga karena sebenarnya tidak semiskin itu imaginasi yang sebenarnya dititipkan Tuhan di kepalamu, di kepala setiap orang.
Ketika kita kecil, dan bertamu ke banyak rumah teman-teman kita, teman-teman orangtua kita, maka keinginan untuk memiliki ini dan itu mulai terbentuk di benak kita. Tidak perlu mengakui dan tidak berguna juga membantah...
Atau ketika Lebaran, Natal, Xin Chia (maaf, bila salah eja), Deepavali, Hari Raya Galungan dan banyak hari raya lainnya, saat kita bertamu ke rumah kenalan kita, terlihatlah beberapa di antara mereka dikunjungi banyak orang.
Orang yang banyak itu, terlihat bahagia menjadi teman dari tuan rumah yang kita datangi. Mereka banyak tersenyum, banyak tertawa, saling bicara dan bahagia (tampaknya). Maka kita mulai pula ingin punya banyak teman.
Secara naluriah, kekayaan material dan banyak teman kemudian menjadi sesuatu yang sangat kita inginkan. Tidak perlu mengakui dan tidak berguna juga membantah...
Secara naluriah pula, kita akan mempertanyakan, apakah profesi orangtua teman kita atau teman orangtua kita itu. Guru, pejabat, tentara, polisi, dokter, pengusaha atau penulis.
Secara naluriah, lagi, setelah keinginan memiliki kekayaan materi seperti yang kita lihat, kita ingin pula memiliki profesi yang sama dengan yang kita lihat itu. Pertanyaan utamanya adalah, sadarkah kita, bahwa saat itu kita sudah mulai menabung satu impian untuk masa depan.
Waktu berlalu, kita semakin dewasa, semakin bijak. Maka sudut pandang kita jadi lebih terbuka. Bahwa ternyata kekayaan material itu mungkin didapat dengan cara menyakiti atau bahkan mematikan (rezeki) orang lain.
Kita jadi mempertimbangkan kembali profesi impian tadi. Betulkah kita ingin menjadi seperti itu? Apakah kita tega merugikan orang lain? Karena jawabannya tidak, maka kita mengurungkan impian.
Satu hal yang paling penting adalah, profesi yang kita diskusikan tadi bukanlah impian. Itu hanya role model. Ingin menjadi seperti siapa kita nanti. Maka perlakukanlah profesi itu sebagai model.
Ya, model kan tidak harus ditiru habis-habisan. Yang penting ada yang bisa ditiru. Dan sebagai peniru yang cerdas, maka kita mengambil yang baik dan membuang yang buruk. Jadi tidak perlu juga mengkhawatirkan role model yang kita pilih.
Satu hal lagi yang jauh lebih perlu diingat ketika kita menetapkan role model adalah; tak seorangpun yang bisa menyamai apalagi melampaui role modelnya!
Nah lho, makin berbelit. Profesi dari orang yang kita kenal sejak kita kecil, ternyata bukan impian, tetapi role model. Tapi kita tidak bisa menyamainya. Jadi bagaimana?
Biasakan untuk menetapkan di kondisi apa, kita harus mengganti role model kita. Setelah kondisi itu tercapai, carilah role model lain dan kita akan melangkah lebih jauh, lebih tinggi dari yang dicapai role model sebelumnya.
Masih bingung ya? Silakan tanya ke twitter: @ArdianSyam atau tulis komentar di sini, karena diskusi kita tentang impian masih akan berlanjut. Saya tunggu diskusi berikut.
No comments:
Post a Comment