Friday, January 4, 2008

Bukan Keripikku

Pernah ada cerita seorang yang sedang duduk di ruang tunggu sedang makan keripik dari kantung plastik yang dia letakkan di meja di sebelah tempat duduknya. Kemudian karena dia asyik membaca maka untuk beberapa lama dia tidak memakan keripik itu.

Tak lama kemudian ada seorang tua yang duduk di seberang meja tempat tadi dia meletakkan kantung keripiknya. Orang tadi mengulurkan tangan dan menyentuh kantung plastik keripik. Dia masukkan tangan ke dalam kantung keripik dan mengambil keripik dari kantung itu. Si orang tua menyenggol kantung keripik ketika tangan orang pertama tadi masih di dalam kantung plastik.

Si orang pertama menoleh kepada si orang tua dan si orang tua tersenyum. Setelah dia menarik tangan dan memasukkan beberapa potong keripik ke dalam mulut, dia lihat tangan si orang tua masuk ke dalam kantung keripik itu. Dia menatap si orang tua dengan tatapan yang mempertanyakan mengapa si orang tua mengambil keripik tanpa minta terlebih dulu. Si orangtua hanya tersenyum ketika ditatap begitu rupa.

Orang itu sekali lagi memasukkan tangan ke dalam kantung plastik sambil menggerutu dalam hati karena melihat orang tua yang tidak sopan itu. Sekali lagi pula dia memasukkan beberapa potong keripik lagi ke dalam mulut dan ketika dia melihat ke arah si orang tua, dia sekali lagi mendapat senyum.

Kemudian terulang lagi kejadian ketika si orang tua mengambil keripik dari kantung plastik dan langsung membuang kantung plastik ke tempat sampah. Orang pertama tadi benar-benar ingin memaki si orang tua yang sangat tidak sopan bersamaan dengan giliran dia dipanggil masuk ke ruang dokter.

Ketika dia selesai berurusan dengan dokter dan akan membayar biaya konsultasi maka dia melihat kantung plastik berisi keripik ada di dalam tasnya. Berarti tadi yang dia makan adalah keripik milik orang tua tadi, dan justru dia sendirilah yang tidak sopan. Padahal dia sudah diberi tanda dengan senyuman, tetapi malah ingin menyalahkan si orang tua.

Betapa malu dirinya sementara sebentar lagi dia harus keluar dari ruangan dokter dan si orang tua mungkin masih di ruang tunggu. Malu.

Ketika akan keluar, dia membayangkan si orang tua akan mentertawakan keserakahan dirinya yang tidak tahu malu. Sudah mengambil milik orang lain, malah marah-marah. Tetapi ternyata si orang tua masih tetap tersenyum seperti tadi ketika melihat dia keluar. Malah si orang tua mengangguk dengan ramah seakan mengucapkan selamat jalan.

Kita seringkali mengalami kejadian yang sejenis. Bisa saja kita punya kios yang menutupi trotoar dan membuat pejalan kaki harus membahayakan diri mereka dengan berjalan di badan jalan. Ketika kios saya itu digusur, maka kita marah dan menyatakan bahwa pihak yang menggusur tidak peduli pada nasib orang kecil.

Bisa pula kita menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi. Dan ketika perusahaan mengeluarkan sanksi karena penyelewengan itu, kita katakan bahwa perusahaan bertindak sewenang-wenang.

Kita bisa pula mengatur agar dikeluarkan peraturan pemerintah tentang cara berusaha dalam bisnis yang kita jalankan. Kemudian ketika kompetitor melakukan sesuatu yang tidak melanggar hukum, hanya memanfaatkan celah-celah yang terbuka di tengah peraturan itu, kita bilang mereka melakukan persaingan yang tidak sehat.

Kita bisa saja melakukan sesuatu yang mengganggu orang dekat kita. Lalu ketika orang itu berusaha menjauhi kita dan tidak ingin lagi menemui kita, kita bilang orang itu membenci kita, menelantarkan kita.

Waduh, benarkah itu keripik milik kita?

No comments: