Friday, January 11, 2008

Ini Perang Psikologi!! (bagian 1)

Anda semua sudah pernah baca buku atau dengar langsung dari para pakar manajemen pemasaran dari luar Indonesia atau yang dari Indonesia tetapi sudah dikenal di luar Indonesia, bahwa sebagian perusahaan tidak lagi menjual produk apapun selain berupaya untuk memenuhi kebutuhan emosional konsumen. Lebih hebat lagi, ternyata, perusahaan-perusahaan tersebut adalah yang mendapatkan sustainable outstanding financial performance.

Kebutuhan emosional?

Oke, mari kita lihat buktinya. Sekarang coba lihat handphone yang Anda miliki. Sudah berapa lama Anda memilikinya? Mungkinkah Anda memilikinya lebih dari tiga tahun? Apakah itu handphone yang pertama Anda miliki? Rasanya, saya bisa katakan sebagian besar dari Anda baru memilikinya kurang dari satu tahun dan itu sangat mungkin bukan yang pertama Anda miliki. Karena itu, saya ingin bertanya lagi, apa yang menyebabkan Anda memilih untuk memiliki handphone itu?



Apakah Anda memilih hanya karena fasilitas yang disediakan di handphone tersebut saja? Lalu kalau benar begitu mengapa ada sekian banyak handphone dengan casing berwarna-warni. Banyak pula jenis bentuknya. Bahkan beberapa produsen handphone yang menjadi market leader mengurangi beberapa fasilitas di produk yang lebih belakangan.

Itu berarti para produsen dan Anda, sekarang lebih memperhatikan penampilan handphone Anda. Handphone menjadi bagian dari fashion Anda sehari-hari. Persis seperti baju dan sepatu yang Anda gunakan. Bukan lagi menjadi sebuah alat untuk berkomunikasi baik suara, teks maupun data.

Handphone bukan lagi sebuah piranti teknologi. Jadi Anda masih tetap bertahan untuk menjawab bahwa handphone yang Anda beli adalah karena kebutuhan Anda untuk berkomunikasi saja. Anda telah mulai memilih handphone demi kebutuhan emosional Anda, bukan?

Pernah lihat iklan televisi dari sebuah zat pembunuh nyamuk? Kata-kata unggulan mereka bukan sekedar membunuh nyamuk tetapi “karena aku sayang anakku”. Setelah Anda menyaksikan iklan tersebut dan membelinya, Anda sedang membeli pembunuh nyamuk? Rasanya justru karena Anda memang sayang anak Anda. Bukankah itu emosional. Karena rasa sayang Anda. Emosi Anda.

Nah, sekarang mulai terlihat kan? Jadi bila Anda sendiri mengkonsumsi sebuah produk karena pertimbangan emosi Anda, mengapa ketika berada di tempat kerja, Anda malah mengabaikan emosi konsumen Anda? Sungguh ajaib Anda!! Mengurung diri, memakai kacamata kuda, bahkan bukti dari diri Anda sendiri saja diabaikan begitu saja. Apa benar begitu?

Mengapa bisa sebuah produk bukan lagi menjadi sebuah produk? Padahal kan produk itu belum menjadi komoditas yang tidak punya merek, kita kan bicara tentang produk yang mempunyai merek yang jelas? Mengapa bisa demikian?

Red Ocean dan kebutuhan dasar untuk hidup. Sebagian besar kebutuhan dasar untuk hidup, bahkan kebutuhan sekunder dan tertier, harus dibayar dengan uang. Maka setiap perusahaan sudah dapat dipahami, didirikan untuk multiplying wealth. Kemakmuran bukan hanya untuk pihak-pihak di dalam perusahaan, tetapi juga bagi para konsumen.

Semua barang konsumsi tersebut disediakan oleh perusahaan tertentu saja pada awalnya. Ketika itu nilai bukan apa-apa, karena tidak ada perusahaan lain yang menyediakan supply tersebut. Tetapi kemudian ada sekelompok orang yang ingin juga mendapatkan uang untuk kebutuhan hidup mereka. Kelompok orang ini mendirikan perusahaan, tentu saja.

Perusahaan tersebut didirikan setelah melihat bahwa segmen jasa atau barang yang disediakan oleh perusahaan yang sudah lama berdiri itu, memiliki banyak demand bahkan hingga ke tingkat overdemand. Karena itu mereka masuk ke bisnis tersebut. Maka sekarang ada lebih dari satu perusahaan yang melayani penyediaan jasa atau barang tersebut.

Konsumen menjadi punya banyak pilihan. Ketika hanya satu perusahaan yang menyediakan jasa atau barang tersebut, beberapa kebutuhan mungkin menjadi tertunda karena uang yang dimiliki untuk membeli kebutuhan lain tersebut menjadi terbatas. Maka ketika perusahaan yang menyediakan barang atau jasa tersebut menjadi lebih dari satu, terjadilah perang harga karena masing-masing perusahaan berusaha meraih pendapatan tinggi. Saat inilah konsumen mulai multiplying wealth, karena kebutuhan lain yang tadinya tertunda sudah dapat dipenuhi.

Keberhasilan dengan pendapatan yang tinggi dari perusahaan-perusahaan yang sudah berbisnis membuat kelompok orang-orang lain ingin mendirikan perusahaan yang beroperasi di bisnis yang sama. Itu berarti akan semakin banyak perusahaan yang melakukan bisnis yang sejenis. Terciptalah red ocean.

Kemudian datanglah Porter yang mengangkat jargon competitive advantage. Semua orang jadi teringat Juran yang menyatakan bahwa kualitas produk atau jasa sangat penting untuk dipelihara. Orang kemudian merasa bahwa kualitas adalah competitive advantage. Selanjutnya pemahaman berikut beranjak pada kenyataan teknologi lebih mudah dijaga kualitasnya. Itu berarti orang mulai berfikir bahwa kualitas teknologi adalah competitive advantage.

Apa yang terjadi kemudian? Banyak perusahaan yang mulai memelihara kualitas teknologi mereka. Dengan segala trik quality management hingga yang kemudian terkenal adalah six sigma. Sayang sekali, orang terlupa bahwa keinginan untuk multiplying wealth akan menimbulkan red ocean.

Maka itu juga yang terjadi dengan teknologi. Teknologi menjadi sangat banyak pilihan dan itu berarti supplier tidak berani bermain di harga. Harga pun jadi tertekan sangat dalam pada supply teknologi. Semua terus memakai kacamata kuda dan mencoba bertahan pada six sigma untuk mempertahankan efisiensi dan efektifitas produksi.

Teknologi nyaris menjadi komoditas, dan karena terus memakai kacamata kuda, orang tidak pernah bisa percaya, teknologi bukan lagi merupakan competitive advantage. Tetapi apakah benar bahwa tidak akan ada lagi competitive advantage? Yang benar saja, apa benar Porter sudah menjadi masa lalu karena tidak ada lagi yang bisa membuat perusahaan Anda memilliki keunggulan?

Tidak juga, kawan. Competitive advantage masih ada! Kita saja yang tidak berani membuka kacamata kuda kita sendiri. Sekarang teknologi sudah bukan lagi dasar mengapa seseorang memilih suatu barang atau jasa. Mereka memilih karena barang atau jasa itu lebih memenuhi kebutuhan emosional mereka.

Kita masih akan bicara tentang kebutuhan emosional di bagian berikut. Jadi persiapkan persepsi dan coba mulai buka kacamata kuda Anda.

No comments: