Mengikuti ajakan seorang teman, saya mau saja go show untuk pulang ke Medan dari Jakarta. Maka berangkatlah kami langsung ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta, dengan niat untuk langsung beli tiket di bandara.
Apa mau dikata, saya juga terlupa bahwa hari itu adalah hari Minggu, dan dari terminal A sampai dengan terminal B semua maskapai penerbangan menyatakan bahwa semua penerbangan mereka sudah penuh hingga 4 jam ke depan! Empat jam adalah waktu yang luar biasa untuk menunggu di bandara. Sedangkan untuk berjalan-jalan ke pusat keramaian di Jakarta, waktu sebanyak itu masih belum cukup karena perjalanan dari bandara ke pusat keramaian Jakarta bisa menghabiskan waktu lebih dari 3 jam pergi-pulang.
Maka dunia terasa menjepit, tanah terbelah serta petir menyambar-nyambar. Sebuah perumpamaan yang sangat tidak bagus dan terlalu hiperbolik, memang. Tetapi jelas saya agak kelabakan dengan kondisi ini. Karena ini baru pertama sekali saya go show.
Tetapi bila sekedar ingin mendapatkan kursi di pesawat yang akan berangkat dalam waktu dua jam ke depan, ada beberapa calo yang menawarkan jasa. Ketika ditawarkan saya ragu apakah tiket yang saya beli tidak memiliki nama penumpang seperti di kereta api. Apa benar begitu, bukankah ada manifes yang memuat semua nama penumpang.
Jadi saya tanyakan langsung nama siapa yang akan tertera di tiket yang saya beli itu. Ternyata saya dikejutkan dengan dua pilihan. Tiket atas nama saya sendiri dengan harga tertentu atau atas nama orang lain yang bisa 200 ribu rupiah lebih murah. Walaupun demikian, kedua tiket tersebut berharga 200 ribu rupiah lebih mahal daripada harga resmi dari maskapai penerbangan.
Sangat luar biasa! Bila di kereta api, calo menawarkan tiket tanpa nama penumpang dan memang tidak ada manifes yang diumumkan kalaupun ada kecelakaan kereta api. Maka, di pesawat udara hal tersebut tidak berlaku. Setiap tiket harus ada nama penumpang.
Maka, bila nama penumpang bukan nama saya, bisa dipastikan bahwa nama tersebut mungkin memang palsu dengan kemungkinan para calo membeli dulu tiket tersebut dan secara berjudi menawarkan kepada penumpang yang tidak kebagian tiket, tentu saja dengan harga lebih mahal. Atau bisa saja sang calo membeli dari orang yang membatalkan keberangkatan dan menjual kembali ke orang yang tidak mendapatkan tiket, dengan harga lebih mahal.
Bila itu yang terjadi, masih masuk di akal, karena sudah bukan hal yang aneh bila para calo melakukan perjudian semacam itu. Tetapi saya menjadi lebih terkejut ketika tahu bahwa saya bisa mencatatkan nama saya di tiket tersebut. Itu berarti para calo bekerja sama dengan para petugas di maskapai penerbangan.
Pantas saja mereka menyatakan dengan enteng bahwa tiket sudah habis. Karena di luar sana ada para calo yang merupakan ’kaki tangan’ mereka untuk menjualkan tiket tersebut di atas harga resmi perusahaan. Itu berarti selisih harga jual dengan harga resmi perusahaan akan mereka bagi dua.
Jadi, apakah benar bahwa hanya para calo saja yang bersalah? Bila para pegawai maskapai penerbangan juga bersalah, kemudian Jakarta dilanda banjir besar di mana-mana, masihkan kita bisa menyatakan bahwa ”orang-orang tidak berdosa” menderita karena kebanjiran?
No comments:
Post a Comment