Setiap organisasi membutuhkan cash-in flow. Untuk membayar biaya operasional dan untuk cadangan. Karena itu stasiun tv butuh lembaga rating untuk acuan dalam menjual slot iklan tiap acaranya.
Begitupun, tv tetap punya tayangan yang segmented walau ratingnya rendah, atau tak terlalu tinggi. Acara itu juga tidak banyak mendapatkan pengiklan. Tetapi stasiun tv (non cable tv) adalah bisnis yang unik. Konsumen tidak membayar untuk menonton, walau tetap menyebabkan cash-in flow.
Itu hal yang sedikit berbeda dengan buku. Konsumennya, membayar untuk buku yang ingin mereka baca. Kita tidak akan membahas orang-orang yang tidak berharga karena membeli buku bajakan. (Orang yang tidak pernah menghargai orang lain, tidak pantas diberi penghargaan sama sekali, bukan?)
Ada istilah happening di dunia penerbitan yang maknanya cukup mirip dengan istilah rating di stasiun tv swasta. Walaupun ada hal yang berbeda, dalam 1 negara, misal: Indonesia, acara yang popular di setiap stasiun tv swasta seringnya berada dalam genre yang sama. Selain itu, ada istilah primetime di stasiun tv swasta.
Dalam dunia penerbitan, buku yang happening tidak sama di setiap penerbitan, walaupun dalam 1 negara. Ada penerbit yang banyak menjual judul-judul buku pelajaran atau panduan pendidikan. Ada penerbit yang banyak menjual judul-judul buku motivasi. Ada penerbit yang happening-nya di buku-buku bisnis.
Nah, balik ke cash-in flow. Sesuatu yang diharapkan terjadi, untuk membayar biaya operasional dan sedikit cadangan.
Bagaimana dengan buku? Tentu saja buku bagi penerbit adalah produk. Produk yang menandakan penerbitan itu berjalan. Produk yang menjadi brand image penerbit. Produk yang tentu juga harus menghasilkan cash-in flow. Itu yang seringkali menyebabkan istilah happening menjadi perhatian bagi penerbit.
Tapi secara umum, happening bagi penerbit berbeda dengan rating bagi stasiun tv. Konsumen membayar langsung untuk buku yang dibaca. Sementara konsumen tv membuat pengiklan tertarik membayar biaya iklan. Sehingga ketika bicara tentang fokus terhadap pelanggan, terjadi perbedaan.
Stasiun tv swasta, pelanggan mereka justru pengiklan. Semua acara yang mampu menarik pengiklan adalah acara yang perlu ditingkatkan, diperbanyak frekuensinya. Bila sudut pandangnya pada kemampuan cash-in flow, happening dalam istilah penerbitan memang sama, dengan memperbanyak penerbitan buku dalam genre tersebut.
Tapi stasiun tv, tidak hanya memproduksi acara dengan rating yang tinggi. Mari kita tengok genre buku yang diterbitkan setiap penerbit. Ada berapa banyak penerbit yang masih mau menerbitkan genre buku yang tidak happening? Walaupun ada banyak sekali buku dari genre yang sedang happening, yang berarti terdapat banyak peluang cash-in flow, tetap saja buku dari genre yang tidak happening nyaris tidak diterbitkan oleh penerbit.
Mari kita buat perbandingan lain. Di stasiun tv yang berbeda, genre dari acara yang dianggap memiliki rating tertinggi, mungkin saja berbeda. Apakah kemudian semua stasiun tv akan terpancing untuk membuat acara dalam genre yang sama? Sepertinya tidak. Karena sangat mudah untuk melihat acara dengan rating paling tinggi di setiap stasiun.
Primetime. Mulai jam 8 malam adalah waktu utama. Waktu untuk acara dengan pengiklan terbanyak. Waktu untuk acara yang memiliki rating paling tinggi. Bahkan bila satu acara yang pernah ada di primetime dan ratingnya merosot, akan keluar dari primetime.
Apakah pernah memperhatikan bagaimana acara di masing-masing stasiun tv dalam primetime? Sepertinya masih beragam. Tidak semua stasiun tv berbondong-bondong menayangkan sinetron dalam primetime mereka. Tetapi fenomena di dunia penerbitan, bila satu penerbit terlihat memiliki buku laris di satu genre, maka penerbit lain akan berbondong-bondong menerbitkan buku dalam genre yang sama.
Uniknya, ini tidak hanya terjadi pada penerbit kecil yang memiliki constrain pada biaya cetak. Fenomena berbondong-bondong itu juga terjadi pada penerbit-penerbit yang cenderung sudah mapan di sisi keuangan. Sehingga menjadi aneh bila mereka tidak mencoba genre lain.
Nah, pernahkah ada yang peduli bahwa kemungkinan minat baca di Indonesia justru menurun tidak hanya karena harga jual, tetapi juga pada keragaman materi yang sangat rendah. Bila benar demikian, kapan penerbit mulai peduli dengan keragaman dan memberikan enrichment serta entertainment bagi para pembaca yang menimbulkan cash-in flow bagi penerbit?
2 comments:
Ada yg sudah bergerak paling tidak sejak 2 tahun terakhir: bestsellerism atau yang happening jadi tolok ukur buku bagus. Bagus dalam pengertian 'penjualan' bukan dari segi 'kebutuhan pembaca'. Ini isu mendesak yang perlu segera disikapi semua pembaca, karena kebutuhan kita akan buku jangan mau disamaratakan dengan yang bestseller/happening itu saja. Kita perlu keragaman buku.
Setuju. Sbg tambahan, di dunia buku ada yg namanya "long tail". Buku bagus (dan everlasting) masih dicari2 orang bertahun-tahun kemudian. Itu kenapa nurut saya situs/portal buku penting krn info ttg buku yg bisa menari perhatian orang akan tetap bisa diakses sampai bertahun-tahun lagi.
Post a Comment