Dari seorang teman yang saya temukan di twitter, berkembang ke teman lain, dan teman lain lagi. Kemudian saling follow, sesekali saling guyon, dan tiba-tiba dari salah satu mereka menyarankan untuk bertemu.
Hanya dan hanya, karena kami semua suka membaca (walaupun setelah ketemu, saya merasa minder dengan kualitas buku-buku yang mereka baca. Ini sungguhan, gak sok rendah hati). Lalu mulai muncul beberapa konsep untuk acara pertemuan berikut.
Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan. (Maaf, kalo maunya dengar itu, di bagian berikut aja, ya. Saat konsep itu lebih matang, nanti). Saya jadi teringat lagi ocehan saya sebelumnya soal happening, eh soal keragaman.
Satu teman ngobrol di sana itu, (boleh sebut nama gak ya?), pernah di koran, pernah mimpin grup majalah, sekarang di televisi, beliau menatap dengan mata, berbicara dengan hati. (Tuh, udah kenal, kan? Jadi gak perlu sebut nama, kan?)
Nah, katanya menjadi apapun, terutama jurnalis, gunakan emphaty journalism. Gunakan empati. Dan katanya lagi, semua orang yang menggunakan empati, membaca buku seminggu satu buku (Waks! Bikin minder, yak)dan dari genre yang beragam.
Mengapa begitu? Karena empati mempersyaratkan kita merasa menjadi orang lain. (Ini bukan maksudnya kalau orang lain jadi pejabat, terus kita merasa jadi pejabat dan ikut-ikutan perintah-perintah ke bawahannya, ya?) Tapi merasakan apa yang dia rasa, memandang dari sudut pandangnya dan berpikir dengan cara dia berpikir
Karena jurnalisme adalah mulai dari ide, mengumpulkan data, mengolah, mengklarifikasi dan memilih sisi (ini, kata teman saya itu lho). Baiklah memilih sisi? Ini berarti memasukkan opini? Bagaimana itu menjadi sebuah jurnalisme? (sungguh, tiga pertanyaan itu muncul di benak saya, tapi tidak terucapkan. Gak beranilah, secara dia itu kan host acara tv. Hehehehe...)
Tapi ternyata saya salah besar! Memilih sisi, bukan berarti memberi opini. Bedanya? Opini adalah kesimpulan dari pendapat pemberi opini, ya? Nah, itu sama seperti kita melihat seorang dengan tinggi 175cm dan beratnya kurang dari 60kg. Apa yang timbul di benak Anda? Dia sangat kurus, ya? Nah, itu opini.
Memilih sisi adalah ketika Anda menceritakan bahwa dia mengunyah makanannya 32 kali setiap suapnya. (dan itu memang faktanya), lalu Anda menceritakan bahwa dia lebih suka makan banyak sayuran dibanding daging hewan (sekali lagi itu faktanya), tanpa Anda mengatakan dia kurus (yang merupakan opini Anda sendiri). Lalu dari mana sih dia dapat ilmu seperti itu? Dari buku tentang Larry King.
Nah, itu dia masalahnya. Katanya (teman saya yang host di acara setiap Sabtu, jam 4 sore itu, bukan kata Larry King, ya) Harus baca buku seminggu satu buku, dan perlu beragam. Jadi, kalau Anda sangat terpengaruh dengan hanya membaca buku yang happening, please, gak akan ke mana-mana deh.
Belum lagi, cukup lah, tv udah cekoki kita dengan sinetron yang ... (gak ah, saya bukan pakar atau pengamat persinetronan), tapi buku yang menjadi 'jendela dunia' itu, mengapa harus pula menjadi terjebak dalam kata happening itu ya?
Sekarang, mari kita bayangkan kita dikurung dalam satu ruangan yang hanya ada satu jendela saja. Pagi kita melihat dari jendela itu ke luar, siang juga kalau mau melihat keluar juga dari jendela itu, sore, malam tetap jendela yang sama. Bagaimana Anda bisa memilih sisi? Bagaimana caranya bisa secara aktif mengendalikan perspektif?
Buku, katanya jendela dunia, tapi penerbit yang terus-terusan ngeributin happening, sama saja dengan mengurung para pembaca dalam satu ruangan, dan hanya memberikan satu jendela? Sudah sebegitu kolonialiskah?
Nah, rasa minder seperti yang saya rasakan di hadapan teman-teman saya yang beragam dan banyak buku yang mereka baca, sepertinya juga dirasakan oleh Anda yang terjebak pada konsep happening yang diusung penerbit, dan tanpa sadar, perlahan-lahan akan semakin banyak orang yang minder dan apakah kita ingin menciptakan generasi minder?
Jadi, siapa yang mau memulai memperbaiki kesalahan ini, sambil tetap punya buku-buku yang bestseller?
No comments:
Post a Comment